Kohati HMI Komisariat Hukum Unkhair Desak Aparat Penegak Hukum Tindak Pelaku KDRT Oknum Kades - WARTA GLOBAL MALUT

Mobile Menu

Pendaftaran Jurnalis

Klik

More News

logoblog

Kohati HMI Komisariat Hukum Unkhair Desak Aparat Penegak Hukum Tindak Pelaku KDRT Oknum Kades

Friday 4 October 2024

Malut.WARTAGLOBAL.id - Pada bulan September 2024, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) telah mencapai usia 20 tahun. Meskipun telah dua dekade diimplementasikan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa undang-undang tersebut belum sepenuhnya efektif dalam memberikan perlindungan yang optimal bagi perempuan. Jumat, 04/10/2024.

Hal tersebut, tercermin dari insiden yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Halmahera Selatan, di mana seorang kepala desa di Desa Orimakurunga diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap istrinya. Kasus ini menarik perhatian publik, termasuk Adinda Sri Rahmayanti, seorang aktivis perempuan yang juga anggota Kohati HMI Komisariat Hukum Unkhair, yang menyampaikan pandangannya mengenai kejadian tersebut.

Dalam komentarnya, Adinda menegaskan bahwa sebagai perempuan, ia sangat prihatin dengan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pejabat negara terhadap istrinya. Ia juga menyatakan harapannya agar Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya Polres Halmahera Selatan, dapat menangani kasus ini dengan serius. "Tindakan seperti ini tidak patut untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Korban berhak mendapatkan jaminan keadilan, dan pelaku, yang notabene seorang pejabat negara, harus dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku," ujar Adinda dengan tegas.

Adinda juga menyoroti bahwa meskipun Undang-Undang PKDRT telah hadir selama 20 tahun, implementasinya di lapangan masih belum maksimal. Berdasarkan data yang ada, perempuan seringkali menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk, mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga penganiayaan. Menurut Adinda, hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan belum berjalan dengan baik, khususnya di wilayah-wilayah tertentu, termasuk di Halmahera Selatan.

Lebih lanjut, Adinda yang berasal dari Morotai, menyayangkan bahwa seorang kepala desa yang seharusnya menjadi contoh bagi warganya justru terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap istrinya. "Sangat disayangkan, pelaku KDRT yang berposisi sebagai Kepala Desa melakukan kekerasan kepada istrinya. Ini adalah tindakan yang sangat tidak bermoral," ujarnya.

Adinda juga menyampaikan harapannya agar Polres Halmahera Selatan memberikan sanksi tegas kepada pelaku. Menurutnya, penegakan hukum yang tegas akan menjadi peringatan bagi masyarakat bahwa tindakan seperti mabuk-mabukan, perselingkuhan, dan kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apapun. "Kita berharap tindakan tegas dari pihak kepolisian bisa menjadi contoh bagi masyarakat, agar mereka menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang salah dan tidak boleh terjadi lagi," tambahnya.

Selain itu, Adinda juga mendesak Pemerintah Daerah Halmahera Selatan untuk mengambil sikap tegas dengan memberhentikan kepala desa yang terlibat dalam kasus kekerasan tersebut. Menurutnya, tindakan mabuk-mabukan, perselingkuhan, dan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh seorang pejabat publik telah mencoreng citra pemerintahan dan mencederai jabatan sebagai kepala desa. "Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk memberhentikan pelaku dari jabatannya, karena tindakan seperti ini jelas melanggar undang-undang dan menciderai kehormatan jabatan kepala desa," tegasnya.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan pejabat publik ini menambah panjang daftar kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang masih minim akses terhadap penegakan hukum yang efektif. Meskipun Undang-Undang PKDRT telah diberlakukan selama 20 tahun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak hambatan dalam implementasi undang-undang ini, terutama terkait dengan kesadaran masyarakat dan ketegasan penegakan hukum.

Selain itu, penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali terhalang oleh upaya mediasi atau penyelesaian secara kekeluargaan, yang sering kali tidak memberikan keadilan bagi korban. Dalam konteks ini, Adinda menekankan pentingnya pendekatan hukum yang tegas dan adil, tanpa adanya kompromi dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. "Penyelesaian secara kekeluargaan hanya akan memperburuk keadaan. Korban tidak akan mendapatkan keadilan, dan pelaku tidak akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Oleh karena itu, pendekatan hukum harus diterapkan secara tegas dan konsisten," ujarnya.

Adinda berharap bahwa kejadian ini bisa menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, terutama bagi para pejabat publik, agar mereka lebih sadar akan tanggung jawab mereka terhadap keluarga dan masyarakat. "Sebagai seorang pejabat, kepala desa seharusnya menjadi contoh yang baik bagi warganya, bukan justru sebaliknya. Tindakan kekerasan terhadap perempuan, apalagi dilakukan oleh seorang pejabat, adalah hal yang tidak dapat ditoleransi dalam masyarakat yang beradab," pungkasnya.

Dengan adanya sorotan publik terhadap kasus ini, diharapkan Polres Halmahera Selatan dapat segera mengambil langkah-langkah hukum yang tegas, serta pemerintah daerah juga turut berperan dalam menegakkan aturan dan norma yang berlaku. Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap perempuan harus terus diperjuangkan, dan Undang-Undang PKDRT harus ditegakkan dengan penuh ketegasan demi mencegah terjadinya kekerasan serupa di masa mendatang.

Redaksi: wan

KALI DIBACA

No comments:

Post a Comment