Malut, WARTAGLOBAL.id — Abrasi yang terjadi di bantaran Sungai Ake Buton, Desa Buton, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, kian mengkhawatirkan. Fenomena alam yang telah berlangsung lebih dari satu dekade ini kini menunjukkan tingkat keparahan yang semakin tinggi dalam lima tahun terakhir. Dampaknya tidak hanya mengancam lahan pertanian dan tempat tinggal warga, tetapi juga infrastruktur vital seperti akses jalan menuju Rumah Sakit Umum (RSU) Obi.
Abrasi atau pengikisan tanah di sepanjang bantaran Sungai Ake Buton menjadi masalah serius yang tengah dihadapi masyarakat Desa Buton. Erosi tanah yang disebabkan oleh arus air sungai yang semakin kuat setiap tahunnya, telah menyebabkan longsoran hampir di seluruh bantaran sungai, sehingga membuat lahan pertanian milik warga mulai tergerus.
Menurut Kepala Desa Buton, Amir Lasiti, abrasi sudah terjadi sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Namun, dalam lima tahun terakhir, kerusakan yang ditimbulkan semakin masif. Data dari Pemerintah Desa mencatat bahwa lebih dari 40 kepala keluarga (KK) kini hidup dalam kondisi terancam kehilangan lahan pertanian maupun tempat tinggal akibat abrasi yang terus meluas.
“Dulu mungkin hanya sebagian kecil saja yang terkikis, tapi sekarang sudah sangat dekat dengan rumah warga. Lahan pertanian yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat juga semakin sempit. Ini jelas ancaman nyata,” ujar Amir saat ditemui di Kantor Desa Buton pada Senin (14/04).
Warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai menjadi kelompok yang paling terdampak. Sebagian besar dari mereka menggantungkan hidup dari hasil pertanian, khususnya kebun kelapa, cengkeh, dan pala yang ditanam tidak jauh dari aliran sungai. Seiring abrasi yang terus berlanjut, lahan pertanian tersebut kini rusak dan bahkan beberapa sudah tidak bisa lagi digunakan.
Salah satu warga yang juga sebagai ketua BPD Nurlia Laibu, mengatakan bahwa kebunnya yang terletak kurang dari 50 meter dari sungai, kini sudah hampir seluruhnya hilang akibat longsor kecil yang terjadi setiap musim hujan.
“Kebun saya dulunya luas, sekarang tinggal setengahnya. Kalau dibiarkan terus begini, tahun depan mungkin sudah habis semua. Kami bingung harus bagaimana,” keluh Nurlia.
Selain petani, warga yang tinggal dekat sungai juga khawatir rumah mereka akan tergerus. Bahkan, ada beberapa rumah yang tinggal beberapa meter lagi akan mengalami kerusakan.
Desa ini mungkin tergolong berada di kawasan yang cukup terpencil, namun memiliki peran penting karena menghubungkan beberapa desa di Kecamatan Obi, ditambah perlu diperhatikan juga bahwa Kecamatan Obi adalah salah satu lokasi PSN.
Salah satu kekhawatiran terbesar warga adalah dampak abrasi terhadap akses jalan utama yang mengarah ke Rumah Sakit Umum (RSU) Obi. Jalan ini menjadi satu-satunya jalur darat yang bisa digunakan warga dari beberapa desa untuk mencapai fasilitas kesehatan.
“Kalau jalan ini sampai amblas, bagaimana warga bisa ke rumah sakit? Ini bukan hanya soal pertanian dan rumah, tapi juga soal keselamatan,” tegas Amir Lasiti.
Meski abrasi sudah terjadi sejak lebih dari 10 tahun lalu, warga menyebut bahwa dampaknya semakin parah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Perubahan pola cuaca, intensitas hujan yang tinggi, serta tidak adanya penanganan serius dari pihak berwenang disebut sebagai faktor yang memperparah kondisi.
Amir Lasiti mengatakan bahwa pemerintah desa telah berulang kali menyampaikan laporan dan permintaan bantuan kepada Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan (Pemda Halsel) dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Pemprov Malut), namun hingga saat ini belum ada tindakan nyata di lapangan.
Minimnya perhatian dari pemerintah daerah dan provinsi menjadi alasan utama mengapa abrasi terus berlangsung tanpa penanganan. Kepala Desa menyebut bahwa pihak desa telah melakukan berbagai upaya, mulai dari pengajuan proposal hingga audiensi dengan pejabat setempat, namun hasilnya nihil.
“Kami sudah kirim surat, kami juga pernah diundang dalam rapat di tingkat kecamatan dan kabupaten, tapi sampai sekarang belum ada realisasi bantuan. Padahal ini masalah serius,” katanya.
Warga menyayangkan lambannya respons dari pemerintah, terlebih karena kondisi tersebut tidak hanya berdampak pada lingkungan hidup, tapi juga berpotensi menyebabkan bencana sosial seperti relokasi paksa warga.
Masyarakat dan Pemerintah Desa Buton berharap agar Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan maupun Pemerintah Provinsi Maluku Utara segera memberikan perhatian serius terhadap permasalahan abrasi ini. Mereka meminta adanya pembangunan talud penahan tanah atau tanggul sepanjang bantaran sungai, serta normalisasi aliran Sungai Ake Buton untuk mengurangi tekanan terhadap tanah di sekitarnya.
“Kami tidak meminta sesuatu yang mewah. Kami hanya ingin ada perlindungan terhadap tanah kami, rumah kami, jalan kami. Ini demi keselamatan dan masa depan anak cucu kami,” ucap Amir.
Selain itu, warga juga mengusulkan agar dilakukan kajian teknis oleh instansi terkait, seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Pekerjaan Umum, untuk mengevaluasi potensi bahaya lebih lanjut dan merancang langkah mitigasi jangka panjang.
Kondisi abrasi bantaran Sungai Ake Buton yang semakin parah harus menjadi perhatian bersama, bukan hanya bagi masyarakat Desa Buton, tetapi juga pemerintah di berbagai tingkatan. Ketika lahan pertanian dan tempat tinggal mulai hilang, ketika akses jalan menuju rumah sakit terancam putus, maka ini bukan lagi sekadar persoalan lokal, melainkan krisis yang menuntut tanggapan cepat dan nyata.
Jika tidak segera ditangani, abrasi ini berpotensi menimbulkan bencana yang lebih besar di masa mendatang. Pemerintah diharapkan segera turun tangan untuk melindungi warga dan lingkungan dari kerusakan yang lebih parah.
Reporter : Faldi Aldino Usman
Editor : Riswan L
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment