
Dugaan pelanggaran terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) APDESI mencuat, menyusul terbatasnya keterlibatan para kepala desa dalam forum yang seharusnya menjadi representasi demokratis seluruh desa di Halsel. Dari 249 Kepala Desa, hanya 30 orang yang dilibatkan, sementara 219 lainnya tidak diberi akses atau undangan resmi untuk menggunakan hak pilih mereka.
"Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi bentuk pembajakan terhadap proses demokrasi di tubuh organisasi desa," kata seorang pengamat lokal yang enggan disebutkan namanya.
Kritik tidak hanya tertuju pada proses Muscab, tetapi juga pada komposisi pengurus yang terbentuk. Abdul Aziz Al-Amary, Kades Matuting, yang terpilih sebagai ketua versi Muscab ini, disebut-sebut memimpin kelompok Kepala Desa yang selama ini justru memiliki rekam jejak problematik di tingkat desa.
Sejumlah sumber menyebutkan, beberapa nama dalam struktur baru tersebut tengah berhadapan dengan isu maladministrasi dan konflik kepentingan di desa masing-masing. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa Muscab hanya menjadi alat politik untuk mengamankan posisi dan kepentingan segelintir elite desa, bukan demi penguatan organisasi dan pelayanan desa secara luas.
Lebih janggal lagi, APDESI Halmahera Selatan menjadi satu-satunya cabang organisasi APDESI yang aktif di Provinsi Maluku Utara, namun selama ini dipimpin oleh Hasanudin Tidore, sosok yang statusnya saat ini nonaktif. Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai legalitas dan keabsahan struktural organisasi di daerah tersebut.
"Bagaimana mungkin sebuah organisasi tingkat kabupaten menjalankan Muscab tanpa kejelasan legal dari tingkat provinsi? Ini menabrak semua prinsip tata kelola organisasi yang sehat," ujar salah satu mantan pengurus APDESI Provinsi, Senin (02/06/2025).
Seiring dengan semakin panasnya polemik ini, sejumlah elemen masyarakat sipil, termasuk Aliansi Indonesia – Badan Penelitian Aset Negara, mendesak Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba, untuk segera mengevaluasi hasil Muscab dan tidak memberikan pengakuan administratif terhadap kepengurusan yang dinilai cacat secara hukum tersebut.
Mereka juga mendesak agar Muscab ulang digelar secara transparan, inklusif, dan sesuai mekanisme AD/ART, dengan melibatkan seluruh Kepala Desa tanpa diskriminasi.
"Jika hal ini dibiarkan, maka praktik manipulatif semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola desa di masa depan," tegas salah satu aktivis lokal.
Draken/"
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment