![]() |
(Muhammad Kasim Faisal; Akademisi STAI Alkhairaat) |
Hal-Sel, WARTAGLOBAL.id - Halmahera Selatan kini menjadi sorotan publik, bukan hanya karena dinamika politiknya, tetapi juga terkait tata kelola pemerintahan yang dinilai rapuh. Salah satu isu krusial yang terus bergulir adalah penyalahgunaan Dana Desa (DD) di 249 desa yang tersebar di 30 kecamatan. Fenomena ini kembali diperbincangkan oleh aktivis, praktisi hukum, hingga akademisi, termasuk Muhammad Kasim Faisal, M.Pd, akademisi STAI Alkhairaat Labuha. Menurutnya, lemahnya pengawasan pemerintah daerah memperlihatkan bahwa praktik korupsi sudah menjadi pola sistematis yang berlangsung lama.
Kasim menegaskan, dari perspektif yuridis, Dana Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan juga bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dengan kerangka hukum yang jelas, seharusnya pengelolaan Dana Desa berjalan transparan dan akuntabel. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: distribusi Dana Desa kerap diwarnai praktik “bagi-bagi kue” oleh oknum yang memiliki kedekatan dengan penguasa daerah.
Pada tahun 2025, isu penyelewengan Dana Desa menjadi sorotan utama. Berbagai laporan media daring menampilkan dugaan penyalahgunaan, mulai dari proyek yang mangkrak, pengadaan fiktif, hingga penggunaan Dana Desa untuk kepentingan politik praktis. Kondisi ini memicu gelombang protes masyarakat terhadap Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) dan Inspektorat Halsel. Namun, kedua lembaga ini dinilai kurang tegas menindaklanjuti laporan, bahkan terkesan melindungi kepala desa yang bermasalah.
Mengutip penelitian dalam Jurnal Volkgeits Volume 9 tahun 2021 karya Muhammad Zaki (Kadis DPMD Halsel) bersama tim, disebutkan bahwa Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sejatinya berperan penting dalam pencegahan korupsi. APIP diharapkan dapat menjadi garda terdepan untuk memastikan Dana Desa tepat sasaran. Namun, analisis Kasim menunjukkan bahwa realitas saat ini justru berbanding terbalik. “Apa yang dipaparkan dalam kajian normatif seolah tidak berlaku di lapangan. APIP di Halsel tak lebih dari alat administratif yang takut bersuara,” ujarnya.
Beberapa desa seperti Geti Lama, Tabalema, Air Mangga, hingga Tagia disebut sebagai contoh bagaimana Dana Desa digunakan tidak sesuai aturan. Dari temuan lapangan, oknum dinas terkait ikut menikmati aliran Dana Desa bersama kepala desa. Perlindungan struktural inilah yang membuat banyak kepala desa seolah kebal hukum. Dalih kedekatan dengan “orang kuat” membuat penindakan hukum mandek.
Masalah lain juga terletak pada posisi Inspektorat yang secara struktural bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008. Hal ini membuat independensi APIP terganggu. Setiap temuan audit yang menyentuh kepentingan kepala daerah atau lingkarannya, sering kali tidak ditindaklanjuti secara objektif. Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) yang menuntut adanya pengawasan independen.
Kasim menilai, fenomena “saling melindungi” inilah yang menjadikan pengelolaan Dana Desa di Halsel semakin jauh dari nilai akuntabilitas. “Ada unsur pidana korupsi yang nyata, tetapi proses hukum tidak berjalan karena faktor kedekatan dengan kekuasaan. Ini menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum kita,” tegasnya.
Menurut Kasim, setidaknya ada dua indikator utama yang membuat kebijakan daerah gagal menekan praktik korupsi Dana Desa. Pertama, ketergantungan DPMD dan Inspektorat pada tekanan politik, terutama dari tim sukses penguasa, sehingga sumpah jabatan terabaikan. Kedua, lemahnya sinergi antara APIP dengan Aparat Penegak Hukum (APH) seperti kepolisian dan kejaksaan. Padahal, kerja sama ini penting untuk menciptakan efek jera bagi para pelaku.
Untuk memperbaiki keadaan, Kasim mendorong agar APIP memperkuat independensi kelembagaannya sekaligus berkolaborasi erat dengan APH dalam menindaklanjuti temuan yang berpotensi menjadi kasus korupsi. Ia juga menekankan pentingnya peran masyarakat sipil untuk terus mengawal penggunaan Dana Desa. “Tanpa partisipasi publik, korupsi Dana Desa hanya akan menjadi cerita berulang di Halsel,” tutupnya.
Dengan segala kompleksitas ini, isu Dana Desa di Halmahera Selatan tidak hanya menjadi masalah teknis, tetapi juga mencerminkan lemahnya tata kelola pemerintahan daerah. Perlu langkah serius, konsisten, dan berani agar Dana Desa benar-benar kembali pada tujuan semula: meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, bukan memperkaya segelintir elite yang bersembunyi di balik kekuasaan.
Redaksi: wan
KALI DIBACA