
WARTAGLOBAL — OBI, 20 September 2025
Opini oleh : Ano. B. Hukum
Ano B. Hukum lahir di Desa Baru pada 24 November 1993. Ia merupakan pemerhati pertanian di Kepulauan Obi sekaligus pelaku langsung dalam sektor pertanian melalui program PELANGI OBI. Selain aktif bertani, Ano juga memiliki rekam jejak panjang dalam gerakan sosial dan advokasi. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Eksekutif Kota LMND pada periode 2013–2015, dilanjutkan sebagai Ketua Koordinator LMND Wilayah pada 2016–2017. Pada 2017–2019, ia dipercaya memimpin Serikat Tani Nasional (STN), sebelum kemudian mengabdikan diri di bidang bantuan hukum sebagai Koordinator LBH Gunung Mberlawan Persada periode 2023–2025. Saat ini, ia berdomisili di Desa Baru, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, dan konsisten menyuarakan isu kedaulatan pangan serta keberpihakan kebijakan pertanian terhadap petani lokal.
“Pertanian adalah fondasi dari industri manufaktur dan perdagangan.” Adam Smith
Pertanian sejatinya bukanlah sektor pinggiran, melainkan fondasi paling kokoh dari peradaban ekonomi. Dari sanalah lahir pangan, bahan baku industri, hingga stabilitas sosial masyarakat. Namun ironisnya, realitas kebijakan pertanian di banyak daerah—termasuk di Kecamatan Obi—justru menunjukkan arah sebaliknya. Bantuan mesin perontok padi yang diberikan kepada petani Obi, alih-alih menjadi solusi strategis, seolah kembali membuka tabir lama tentang pembangunan pertanian yang berjalan setengah hati, miskin visi, dan lemah dalam keberanian politik.
Tidak ada yang menyangkal bahwa mesin perontok dapat membantu meringankan kerja petani. Persoalannya bukan terletak pada alat tersebut, melainkan pada cara pemerintah daerah memaknai kehadirannya di sektor pertanian. Ketika bantuan hanya berhenti pada penyerahan fisik tanpa sistem pendukung yang memadai, maka yang lahir bukan kemandirian petani, melainkan bentuk baru dari ketergantungan yang dipelihara secara tidak sadar.
Jika kita menarik ingatan ke belakang, sejarah telah lama mengajarkan bahwa pertanian bukan sekadar soal alat, melainkan sebuah sistem. Presiden Ir. Soekarno pernah menegaskan bahwa “soal pertanian adalah soal pangan, dan soal pangan adalah soal hidup dan matinya suatu bangsa.” Pernyataan ini seharusnya menjadi kompas moral bagi pemerintah daerah. Jika pangan adalah soal hidup dan mati, maka kebijakan pertanian tidak boleh dikelola dengan pendekatan proyek tahunan yang dangkal dan seremonial.
Mesin perontok hanyalah satu elemen kecil dari sistem pertanian yang utuh—yang seharusnya mencakup aspek produksi, pascapanen, distribusi, akses pasar, hingga jaminan harga. Sayangnya, kebijakan pertanian daerah masih terjebak dalam logika administratif: serapan anggaran, laporan kegiatan, dan dokumentasi seremonial. Model pendekatan seperti ini secara jujur bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang menekankan keberlanjutan, kepastian usaha tani, dan peningkatan kapasitas petani secara komprehensif.
Dari perspektif kebijakan publik, persoalan utama pertanian daerah sejatinya bukan kekurangan program, melainkan ketiadaan konsistensi dan peta jalan jangka panjang. Setiap pergantian kepemimpinan, arah kebijakan ikut berubah. Akibatnya, petani dipaksa beradaptasi dengan kebijakan yang tak pernah selesai, tak pernah matang, dan tak pernah benar-benar berpihak.
Padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas menempatkan pertanian sebagai urusan wajib. Artinya, kegagalan membangun sistem pertanian yang berkelanjutan bukan semata-mata persoalan teknis, melainkan kegagalan dalam menjalankan mandat hukum sekaligus tanggung jawab politik.
Tokoh ekonomi kerakyatan, Prof. Mubyarto, pernah mengingatkan bahwa “masalah pertanian bukan soal teknologi semata, tetapi juga soal keberpihakan.” Bantuan mesin perontok tanpa proses edukasi, pendampingan berkelanjutan, pelatihan, dan jaminan pasar adalah bukti nyata bahwa keberpihakan itu masih berjalan setengah-setengah.
Bantuan alat kerap menjadi panggung politik yang murah dan cepat. Namun keberpihakan sejati tidak lahir dari simbol, melainkan dari politik anggaran. Sejauh mana pemerintah daerah berani mengalokasikan anggaran untuk pendampingan berkelanjutan, riset lokal, perawatan alat, serta perlindungan hasil panen petani? Tanpa itu semua, bantuan hanya akan melahirkan apa yang disebut Amartya Sen sebagai “development without freedom”—pembangunan yang gagal memperkuat kapasitas dan pilihan hidup manusia.
Belajar dari negara-negara yang memuliakan petani bukanlah sebuah kesalahan. Jepang, misalnya, menempatkan petani bukan sebagai penerima belas kasihan negara, melainkan sebagai penjaga kedaulatan pangan. Negara hadir melalui riset, mekanisasi terpadu, dan jaminan harga. Hal serupa dilakukan Belanda, yang mengembangkan pertanian berbasis teknologi tinggi melalui kebijakan yang konsisten dan berbasis data.
Ketika kebijakan pertanian tidak konsisten, dampaknya bukan hanya pada produktivitas, tetapi juga pada regenerasi petani. Generasi muda enggan masuk ke sektor pertanian karena melihatnya sebagai ruang tanpa masa depan. Ini adalah bom waktu bagi ketahanan pangan daerah. Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah gencarnya pidato tentang pembangunan desa dan kedaulatan pangan—retorika semakin keras, sementara kebijakan di lapangan semakin rapuh.
Bantuan mesin perontok seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan euforia. Pemerintah daerah perlu keluar dari jebakan kebijakan simbolik dan mulai membangun sistem pertanian yang utuh: berbasis data, partisipatif, berkelanjutan, dan sepenuhnya berpihak pada petani.
Sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara, “setiap kebijakan harus memerdekakan manusia.” Maka pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah kebijakan pertanian daerah hari ini benar-benar telah memerdekakan petani, atau justru memperpanjang rantai ketergantungan?
Petani tidak membutuhkan janji, apalagi seremoni. Mereka menuntut tanggung jawab, konsistensi, dan keberanian politik. Tanpa itu semua, mesin perontok hanyalah simbol dari kebijakan yang berisik di permukaan, tetapi hampa di akar persoalan.
Reporter : Faldi Usman
KALI DIBACA