Dosen Hukum Media UNSAN
Malut. WARTAGLOBAL.id - Di era digital yang semakin maju, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter tidak hanya digunakan untuk berinteraksi dengan teman dan keluarga, tetapi juga sebagai tempat berbagi informasi, mengekspresikan diri, dan bahkan mencari pekerjaan. Namun, di balik kemajuan ini, media sosial juga menjadi cermin yang merefleksikan berbagai masalah sosial, salah satunya adalah pengangguran. Pengangguran tidak hanya menimbulkan dampak ekonomi, tetapi juga mempengaruhi perilaku individu di dunia maya, seringkali mengarah pada tindakan-tindakan negatif seperti iri hati, penyebaran hoaks, fitnah, dan berita bohong.
Pengangguran adalah kondisi yang penuh tekanan dan tantangan. Ketidakpastian ekonomi, hilangnya rasa percaya diri, dan perasaan terisolasi adalah beberapa dampak yang paling umum dialami oleh mereka yang kehilangan pekerjaan. Dalam upaya untuk mengatasi tekanan ini, banyak individu yang beralih ke media sosial, baik sebagai pelarian maupun sebagai upaya untuk mencari dukungan sosial. Namun, alih-alih mendapatkan bantuan, mereka sering kali terjebak dalam siklus perbandingan sosial yang tidak sehat.
Studi yang dilakukan oleh University of Pennsylvania pada tahun 2018 menunjukkan bahwa individu yang merasa terisolasi dan tertekan lebih rentan terhadap penyebaran informasi yang salah di media sosial. Hal ini diperparah oleh algoritma platform yang cenderung memprioritaskan konten yang menimbulkan keterlibatan emosional tinggi, termasuk kemarahan dan frustrasi. Pengangguran, yang sering kali memicu emosi negatif seperti iri hati terhadap orang lain yang tampaknya lebih sukses, menjadi faktor pendorong yang signifikan dalam penyebaran hoaks dan fitnah.
Iri hati adalah salah satu emosi negatif yang paling sering muncul di media sosial, terutama di kalangan mereka yang sedang menghadapi masa-masa sulit seperti pengangguran. Media sosial, dengan tampilan kehidupan orang lain yang tampak sempurna, sering kali memperburuk perasaan tidak berharga dan membuat individu merasa tertinggal. Rasa iri ini dapat memicu perilaku destruktif, seperti penyebaran berita palsu atau berpartisipasi dalam fitnah sebagai cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan.
Laporan dari American Psychological Association (APA) pada tahun 2019 mengungkap bahwa pengangguran sering kali menyebabkan stres yang berujung pada tindakan negatif di media sosial. Ketika individu melihat orang lain yang tampaknya lebih bahagia atau lebih berhasil, mereka mungkin merasa terdorong untuk menyebarkan informasi yang merusak sebagai bentuk pelampiasan emosi. Ini bukan hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga memperburuk ekosistem informasi di dunia maya.
Tidak hanya hoaks, pengangguran juga dapat meningkatkan kecenderungan individu untuk terlibat dalam fitnah dan radikalisasi di media sosial. Studi yang dilakukan oleh Oxford Internet Institute pada tahun 2020 menunjukkan bahwa individu yang merasa frustrasi dengan situasi ekonomi mereka lebih rentan terhadap narasi ekstremis atau radikal yang beredar di media sosial. Mereka mencari makna atau solusi cepat untuk mengatasi situasi sulit mereka, yang sering kali ditawarkan oleh kelompok-kelompok dengan agenda tertentu.
Radikalisasi ini bukan hanya terjadi pada tingkat ideologis, tetapi juga pada tingkat pribadi, di mana individu mulai memandang dunia dengan pola pikir hitam-putih. Mereka menjadi lebih mudah dipengaruhi oleh konten yang menghasut dan berpotensi merusak kohesi sosial di masyarakat.
Mengatasi dampak negatif pengangguran di media sosial memerlukan pendekatan yang holistik. Dukungan mental dan emosional dari keluarga, teman, dan komunitas online yang positif sangat penting untuk membantu individu yang sedang mengalami pengangguran. Selain itu, edukasi digital juga perlu ditingkatkan agar pengguna media sosial lebih kritis dalam menanggapi informasi yang mereka terima dan sebarkan.
Pemerintah dan organisasi non-pemerintah juga dapat berperan dengan menyediakan platform yang membantu penganggur dalam mencari pekerjaan, membangun jaringan profesional, dan mendapatkan dukungan mental. Program-program pelatihan yang meningkatkan keterampilan digital juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi pengangguran dan dampaknya terhadap perilaku di media sosial.
Pengangguran bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga sosial, yang dapat mempengaruhi perilaku individu di dunia maya. Emosi negatif seperti iri hati, frustrasi, dan rasa tidak berharga sering kali muncul akibat pengangguran dan dapat memicu tindakan-tindakan destruktif di media sosial, termasuk penyebaran hoaks dan fitnah. Oleh karena itu, upaya bersama dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk mengatasi dampak negatif ini, demi menciptakan lingkungan media sosial yang lebih sehat dan produktif. (Red/Wan).
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment