Dalam pandangan masyarakat Tobelo, perempuan memiliki peran yang sangat penting, serupa dengan masyarakat Galela. Perempuan dianggap sebagai pemegang unsur nyawa atau jiwa (o gikiri), sementara laki-laki dianggap sebagai pemilik unsur nama atau harga diri (o gurumini). Kedua unsur tersebut, bersama unsur tubuh (o rohe), membentuk satu kesatuan utuh yang merepresentasikan keberadaan manusia. Masyarakat Tobelo meyakini bahwa perempuan memiliki rahim sebagai wadah kehidupan dan air susu sebagai sumber penghidupan. Oleh karena itu, perempuan dipandang sebagai pemberi sekaligus penyebar kehidupan, serta lambang kesuburan. Sebaliknya, laki-laki yang memproduksi sperma dipandang sebagai pemilik dan penguasa kehidupan (Visser 1994:117-118).
Perempuan Tobelo menjadi tulang punggung keluarga. Ketika para suami pergi ke hutan untuk mencari hasil buruan, para perempuan bertanggung jawab menyediakan pangan. Mereka berkebun, mencari sayur di hutan, menjual hasil kebun ke wilayah pesisir yang jauh dari desa, serta menyisakan sebagian untuk kebutuhan rumah tangga, mengingat lamanya waktu perjalanan para suami (Inkuiri Nasional Komnas HAM, 2017).
Secara fisik, perempuan Tobelo memang lebih kecil dibanding laki-laki, namun kekuatan fisik mereka tidak kalah. Dalam keseharian, mereka mengenakan sarung hingga betis. Saat upacara adat, mereka mengenakan sarung hingga mata kaki dan kebaya putih—warna yang menjadi kegemaran mereka (Amal 2012:13).
Keahlian mereka juga terlihat dalam memainkan alat musik tradisional seperti fiol, yang oleh masyarakat Tobelo disebut arababu. Dikisahkan, suatu waktu Sultan Ternate berkunjung ke Tobelo. Tanpa ada acara resmi, seorang perempuan muda menyambut sang Sultan dengan memainkan arababu di atas perahu. Sang Sultan dan rombongan sempat terkejut, namun gadis itu terus bernyanyi hingga semua penjemput ikut bernyanyi (Amal 2012:112).
Perempuan Tobelo sangat menghormati suami dan orang tua mereka. Mereka rela mengikuti suami ke mana pun, asalkan diizinkan. Rasa cinta dan kasih sayang mereka terhadap anak-anak sangat besar, meskipun nada bicara mereka terdengar keras.
Pada tahun 2017, saat Garasi Genta mengunjungi Galela, tepatnya di rumah almarhum M. Adnan Amal, beliau menceritakan keberanian perempuan Tobelo-Galela. Ia mengatakan bahwa pada abad ke-18 hingga 19, saat Sultan Nuku membangun armada kora-kora di sekitar Pulau Seram dan Irian Jaya, perempuan dan anak-anak Tobelo-Galela turut serta dalam perahu, mengikuti suami mereka hingga bertahun-tahun, bahkan rela mati demi mendampingi suami dan Sultan Nuku.
Dalam tradisi pembuatan perahu tradisional (ngotiri), masyarakat Tobelo masih menggunakan helai rambut perempuan. Seperti disampaikan arkeolog Maluku, Lucas Wattimena, perahu tradisional di Halmahera Utara mencerminkan personifikasi seorang gadis. Ia juga menyampaikan bahwa tradisi ini masih berlangsung hingga kini. Lingkungan menjadi bagian dari sistem sosial-budaya dalam pembuatan perahu kayu yang diambil dari hutan, dengan besi sebagai alat pengerjaan. Bahkan, pengukuran perahu pun masih menggunakan helai rambut perempuan.
Perempuan Tobelo sangat dihormati dalam lingkungan sukunya. Hal ini terlihat dalam tradisi pernikahan, baik sesama suku maupun lintas suku, melalui tradisi cuci kaki. Tradisi ini bermakna penyucian dan hanya dilakukan terhadap mempelai perempuan, karena ia keluar dari rumah orang tua dan masuk ke keluarga laki-laki. Prosesi ini dilakukan oleh anak perempuan yang belum akil balig, didampingi orang tua yang membaca mantra pada air, lalu air tersebut digunakan untuk membasuh kaki mempelai perempuan. Tradisi ini masih dilestarikan dalam pernikahan suku Tobelo dan Galela (WorldVision 2005:67).
Demikianlah ulasan tentang kehidupan perempuan Tobelo yang saya rangkum dari berbagai sumber buku dan internet. Semoga tulisan ini menambah khazanah pengetahuan pembaca tentang sejarah Maluku Utara, khususnya Tobelo.
Saya menyadari bahwa ulasan ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan, mengingat keterbatasan pengetahuan saya dalam bidang sejarah dan referensi yang terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan sebagai bahan evaluasi ke depannya.
Narasi oleh: Muhammad Diadi
Edit & Foto: ChatGPT
Mamuya, 30 April 2025
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment