Konflik Tambang Putus Akses Dua Desa: Warga Nolu Terisolasi, Pemerintah Diminta Bertindak Tegas. - Warta Global Malut

Mobile Menu

Pendaftaran Jurnalis

Klik

More News

logoblog

Konflik Tambang Putus Akses Dua Desa: Warga Nolu Terisolasi, Pemerintah Diminta Bertindak Tegas.

Sunday, 4 May 2025


Halmahera Utara, WARTAGLOBAL.idDi balik keindahan alam Maluku Utara yang memesona, menyimpan kisah pilu konflik yang membelah dua desa, memutus akses jalan, dan menyingkap persoalan lama antara warga lokal dan kepentingan tambang. Tepatnya di perbatasan antara Desa Nolu, Kecamatan Loloda Tengah, Kabupaten Halmahera Barat dan Desa Roko, Kecamatan Galela Barat, Kabupaten Halmahera Utara, terjadi insiden yang menyita perhatian publik: jembatan penghubung antarwilayah diduga diputus secara sepihak oleh warga Roko.

Kejadian bermula saat warga Desa Roko melakukan unjuk rasa terhadap perusahaan tambang emas PT Tri Usaha Baru (TUB), yang beroperasi di wilayah mereka. Dalam protesnya, warga menuding bahwa PT TUB belum menyelesaikan persoalan ganti rugi atas lahan dan tanaman yang terdampak eksploitasi. Emosi memuncak, dan sebagai bentuk tekanan, massa memutuskan untuk menggergaji jembatan kayu yang menjadi satu-satunya akses darat menuju Galela, sekaligus menumbangkan pohon besar untuk menghalangi jalan.

"Ini bukan lagi sekadar demonstrasi. Ini sudah merusak fasilitas umum, mengisolasi desa kami, dan melumpuhkan kehidupan warga Nolu," kata Fabianus Atajalim, Camat Loloda Tengah, saat diwawancarai pada Jumat (2/5/2025).

Fabianus dengan tegas menyatakan bahwa jembatan tersebut dibangun oleh pemerintah daerah sebagai penghubung antarwilayah lintas kabupaten. “Fasilitas publik ini adalah hasil kerja sama lintas pemerintah, dan keberadaannya vital bagi pergerakan warga, distribusi bahan pokok, dan akses layanan publik,” ujarnya.

Akibat tindakan sepihak tersebut, lebih dari 300 kepala keluarga di Desa Nolu kini menghadapi isolasi. Anak-anak tidak bisa bersekolah di Galela, pasien kesulitan dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat, dan roda perekonomian lokal pun nyaris lumpuh.

Sumber utama konflik adalah sengketa lahan yang diklaim oleh warga Roko sebagai milik adat yang telah dikelola turun-temurun. Mereka menuduh PT TUB melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tanpa melalui mekanisme ganti rugi yang sah dan transparan. Berbagai upaya mediasi telah dilakukan sejak tahun 2023, namun selalu berakhir buntu.

Dalam berbagai aksi sebelumnya, warga Roko telah menggelar rapat adat, pemasangan spanduk penolakan tambang, dan terakhir — aksi pemblokiran jalan. Namun tak kunjung mendapat tanggapan memadai dari perusahaan maupun pemerintah kabupaten, warga memilih langkah ekstrem: memutus jembatan penghubung.

Warga Nolu menyesalkan tindakan sepihak dari warga Roko. Mereka merasa tidak dilibatkan dan sama sekali tidak memiliki kaitan langsung dengan sengketa lahan yang terjadi. Namun akibat insiden ini, mereka justru menjadi korban paling terdampak.

Yosephina Marasabessy, seorang guru SD di Desa Nolu, mengaku sedih melihat murid-muridnya tak bisa hadir ke sekolah. “Kami hanya ingin hidup tenang, bekerja, berkebun, dan mendidik anak-anak. Tapi kami terjebak dalam konflik yang bukan kami ciptakan,” ungkapnya.

Menyikapi kejadian ini, Pemerintah Kecamatan Loloda Tengah melayangkan laporan resmi ke Polsek setempat. Beberapa warga Roko telah dipanggil dan dimintai keterangan. Kapolsek Galela Barat menyatakan bahwa penyelidikan akan dilakukan secara objektif dan menyeluruh.

“Tidak ada yang kebal hukum. Fasilitas publik yang dirusak akan diproses sesuai undang-undang yang berlaku,” tegas Kapolsek.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan Halmahera Utara telah diminta oleh Camat Loteng untuk duduk bersama menyelesaikan masalah ini secara lintas kabupaten.

Hingga berita ini ditulis, pihak manajemen PT Tri Usaha Baru belum memberikan pernyataan resmi. Wartawan Warta Maluku Utara telah berulang kali mencoba menghubungi Humas PT TUB, namun belum mendapat respons. Warga menilai diamnya perusahaan sebagai bentuk pengabaian atas konflik sosial yang mereka timbulkan.

Menurut catatan LSM lingkungan hidup setempat, PT TUB mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak 2015 setelah mengakuisisi wilayah konsesi dari PT Gunung Emas Indonesia. Namun, dalam proses pengelolaan lahan dan pembebasan tanah, banyak warga yang merasa tidak dilibatkan.

Berbagai tokoh masyarakat dan pemuda dari kedua desa menyerukan solusi damai. Pendekatan hukum diperlukan, namun penyelesaian yang restoratif harus diutamakan agar tidak menimbulkan dendam antarwarga.

Fransiskus Dano, tokoh pemuda dari Nolu, menyatakan: “Kami tidak ingin konflik ini berlanjut menjadi perpecahan antargenerasi. Kami butuh keadilan, tapi kami juga ingin damai.”

Insiden ini juga menjadi sinyal penting bagi Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Kementerian Dalam Negeri. Banyak yang menilai bahwa konflik sosial akibat tambang di daerah sering kali terjadi karena lemahnya pengawasan atas aktivitas perusahaan dan tidak adanya mekanisme mediasi yang cepat dan efektif.

Pakar hukum agraria dari Universitas Khairun, Ternate, Dr. Herlina Yusuf, menyatakan bahwa konflik seperti ini kerap terjadi karena tumpang tindih kepentingan antara korporasi, pemerintah daerah, dan masyarakat adat. “Kunci penyelesaiannya adalah transparansi dan pelibatan warga sejak awal dalam proses perizinan dan pembebasan lahan,” jelasnya.


Redaksi/*


KALI DIBACA

No comments:

Post a Comment