Pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak hanya menuntut perubahan teknis dalam norma dan struktur hukum, melainkan juga penyesuaian nilai-nilai hukum dengan filosofi bangsa. Salah satu konsep yang mendapat sorotan serius dalam proses ini adalah rechterlijk pardon atau pengampunan yudisial. Konsep ini, sebagaimana dibahas oleh Fenty Puluhulawa dkk dalam Jurnal Juris (Universidade Federal do Rio Grande), merupakan refleksi dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar etis dan filosofis sistem hukum Indonesia.
Namun urgensi penerapan rechterlijk pardon menjadi lebih nyata bila kita menelaah kondisi faktual lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia, khususnya di Maluku Utara. Berdasarkan data Ditjenpas yang diakses melalui sdppublik.ditjenpas.go.id, jumlah penghuni lapas di provinsi ini mencapai 1.301 orang dari kapasitas 1.641. Beberapa lapas bahkan mendekati atau telah melampaui batas ideal. Lapas Kelas IIA Ternate dihuni 225 orang (kapasitas 196), Lapas Tobelo menampung 193 orang (kapasitas 250), dan Lapas Sanana 154 orang dari kapasitas hanya 150. Bahkan Lapas Kelas III Labuha, yang kapasitasnya hanya 103, kini telah dihuni 98 orang, belum termasuk antrean tersangka dan terdakwa yang menunggu proses hukum.
Kondisi ini tidak hanya menimbulkan persoalan teknis terkait kelebihan kapasitas (overcrowding), tetapi juga menjadi cerminan dari sistem pemidanaan yang masih kaku dan retributif. Padahal, seperti yang diuraikan Puluhulawa dkk, rechterlijk pardon hadir sebagai instrumen penting untuk menjembatani keadilan formal dengan keadilan substantif. Ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila kedua dan kelima: kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengampunan yudisial dapat menjadi jalan tengah bagi perkara-perkara dengan pelaku yang menunjukkan penyesalan mendalam, tidak berulang, dan dalam konteks sosial-ekonomi tertentu. Pendekatan ini bukan berarti melemahkan supremasi hukum, melainkan menegaskan bahwa hukum juga harus berpihak pada rasa keadilan dan upaya rehabilitasi manusia.
Dalam konteks ini, pemikiran Viktor E. Frankl dalam Man’s Search for Meaning menjadi sangat relevan. Ia menulis, “Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms—to choose one’s attitude in any given set of circumstances.” Penjara bisa mengambil kebebasan fisik, tetapi tidak bisa mematikan makna dan pilihan batin seseorang. Maka sistem pemidanaan harus mendorong pencarian makna hidup, bukan hanya menjatuhkan hukuman.
Frankl juga menyatakan, “Those who have a 'why' to live, can bear almost any 'how’.” Mereka yang punya alasan untuk hidup, mampu menanggung penderitaan terberat. Jika sistem pemasyarakatan dibangun atas semangat pembinaan dan pemaknaan kembali hidup, maka proses rehabilitasi akan jauh lebih bermakna daripada sekadar pengurungan.
Dengan demikian, tulisan Fenty Puluhulawa dkk memberikan kontribusi krusial dalam diskursus pembaharuan hukum pidana nasional. Di tengah kondisi nyata krisis kepadatan lapas, rechterlijk pardon bukan hanya menjadi pilihan yuridis, tetapi panggilan moral untuk membumikan hukum dalam nilai-nilai Pancasila: keadilan, kemanusiaan, dan kebijaksanaan.*
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment