
MALUT, WARTAGLOBAL.id – Dugaan pemotongan upah tanpa dasar hukum yang dilakukan oleh Kepala Desa Bibinoi, Munir Kasuba, terus menuai reaksi keras dari masyarakat. Dalam proyek pembangunan pagar desa sepanjang 100 meter senilai Rp102.540.600, anggaran sebesar Rp30.750.000 yang diperuntukkan bagi upah tenaga kerja hanya terealisasi sekitar Rp15 juta. Sementara dalam laporan resmi pemerintah desa, seluruh dana disebut telah dibayarkan penuh.
Penjelasan Kades terkait pemotongan upah sebesar 50% depan Masa Aksi, yang menyebut separuh dana digunakan untuk membayar pajak dinilai mengada-ada. Warga mempertanyakan landasan hukum pemotongan tersebut, terlebih tidak ada sosialisasi sebelumnya maupun bukti potong pajak resmi yang disampaikan ke publik. Hal ini menimbulkan kecurigaan akan adanya pemalsuan laporan pertanggungjawaban.
“Saat laporan desa bilang sudah dibayar penuh, tapi kami hanya terima separuh, itu namanya manipulasi. Kalau memang ada pajak, mana bukti potongnya? Jangan main akal-akalan pakai alasan pajak untuk ambil uang rakyat,” Tegas salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Secara hukum, pemotongan pajak dari upah pekerja hanya sah dilakukan jika sesuai dengan ketentuan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa pemotongan PPh Pasal 21 terhadap jasa konstruksi hanya berlaku apabila penghasilan penerima melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) – yakni Rp4,5 juta per bulan. Dalam konteks pekerja desa dengan upah borongan kecil, pemotongan pajak dianggap tidak relevan, apalagi tanpa dokumen resmi.
Kasus ini juga memperkuat dugaan warga terhadap lemahnya transparansi dan akuntabilitas Pemerintah Desa Bibinoi. Sejak awal tahun anggaran berjalan, baliho informasi publik seperti RKPDes, APBDes 2025, dan laporan realisasi Dana Desa 2024 tidak pernah dipajang di tempat umum. Kondisi ini dinilai melanggar prinsip keterbukaan sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri No. 20 Tahun 2018.
Tokoh masyarakat Desa Bibinoi, Gazali Kasuba, menyebut bahwa praktek ini mencerminkan kesengajaan menutupi pengelolaan dana dari warga. “Kalau semuanya bersih dan sesuai aturan, kenapa takut buka ke publik? Ini jelas-jelas ada yang ditutupi,” katanya.
Desakan agar dilakukan audit menyeluruh pun terus menguat. Koordinator aksi, Asmawan Ibrahim, menyatakan bahwa tidak adanya tindakan dari pemerintah daerah hanya akan memperparah krisis kepercayaan masyarakat. Ia meminta Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba, untuk segera memerintahkan Inspektorat Daerah mengusut tuntas laporan penggunaan Dana Desa Bibinoi.
“Kalau Bupati serius menegakkan aturan, maka Bibinoi harus jadi prioritas audit. Jangan sampai ada kesan Bibinoi kebal hukum karena ada kedekatan keluarga. Ini bukan soal politik, tapi soal keadilan,” ujarnya.
Warga menyampaikan harapan agar proses audit nantinya berjalan objektif dan profesional. Jika terbukti terdapat manipulasi atau penyalahgunaan wewenang, maka hal tersebut patut diproses sebagai tindak pidana korupsi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Kami tidak akan berhenti menuntut keadilan. Hak kami jangan diambil seenaknya. Kalau pemerintah desa tidak bisa dipercaya, kami akan bawa persoalan ini ke ranah hukum,” pungkas salah satu tokoh pemuda.
Kasus di Bibinoi menjadi cermin penting betapa krusialnya transparansi dalam pengelolaan Dana Desa. Masyarakat menegaskan bahwa pembangunan tidak hanya soal proyek fisik, tapi juga menyangkut kejujuran, tanggung jawab, dan kepercayaan publik.
Redaksi/Ujhyl
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment