
INVESTIGASI — Halmahera Selatan, 12 Juli 2025 Penanganan lamban terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Pulau Obi menuai kecaman keras dari berbagai kalangan, termasuk dari politisi asal Pulau Obi, Muhammad Saleh Nijar.
Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Selatan yang juga merupakan putra asli Pulau Obi ini menyatakan kegeramannya atas sikap aparat penegak hukum yang dinilai tidak serius dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, khususnya di wilayah Pulau Obi.
"Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seperti yang terjadi di Obi semakin marak di Halmahera Selatan. Ini adalah persoalan kemanusiaan yang harus menjadi perhatian serius semua pihak, terutama aparat penegak hukum," tegas Muhammad Saleh Nijar.
Politisi yang juga menjabat sebagai Sekretaris Fraksi PKB DPRD Halmahera Selatan ini turut menyoroti dugaan adanya upaya mediasi yang dilakukan oleh sejumlah oknum anggota Polsek Obi terhadap keluarga korban. Ia menilai langkah tersebut sebagai tindakan keliru yang mencerminkan ketidakpahaman aparat terhadap prinsip-prinsip penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak.
"Jika dilihat dari perspektif hukum pidana, tidak ada ruang sedikit pun bagi kasus kekerasan seksual terhadap anak untuk diselesaikan melalui mediasi ataupun restorative justice. Ini merupakan lex specialis dan tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime)," ujarnya tegas.
Nijar juga menegaskan bahwa dalam konteks hukum pidana, kasus kekerasan seksual terhadap anak termasuk dalam kategori delik biasa, yang artinya proses hukum dapat dilakukan tanpa menunggu laporan atau persetujuan dari korban.
"Siapa pun yang mengetahui adanya tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, wajib melaporkannya. Polisi harus menindaklanjuti laporan tersebut meski tanpa adanya laporan langsung dari korban," jelasnya.
Lebih lanjut, Nijar merujuk pada regulasi yang menjadi dasar hukum perlindungan terhadap anak, yaitu:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014,
Perubahan Kedua melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yang kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016.
Dalam ketentuan tersebut, Pasal 76D menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa anak melakukan persetubuhan. Sementara itu, Pasal 76E melarang penggunaan kekerasan, ancaman, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau bujukan untuk melakukan perbuatan cabul terhadap anak.
Sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan 82 Perpu Nomor 1 Tahun 2016, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.
Dengan adanya kejanggalan dalam penanganan kasus ini, publik mendesak agar Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara segera melakukan supervisi terhadap proses hukum di Polsek Pulau Obi. Tujuannya adalah memastikan agar penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, memberikan keadilan bagi korban, serta memberikan efek jera kepada para pelaku.
Reporter : Faldi
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment