
Jakarta, WartaGlobal.ID - Harian Advokasi Tambang Maluku Utara (HATAM) mengeluarkan peringatan keras kepada PT BAM yang akan memulai pembangunan kawasan industri di Desa Subaim, Kecamatan Wasile, Halmahera Timur. Proyek seluas 517,36 hektare itu dinilai berpotensi menciptakan ketimpangan sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat sekitar apabila tidak diawasi secara ketat.
HATAM menilai ketimpangan yang dikhawatirkan bukan sekadar ancaman baru, tetapi kelanjutan dari kebijakan ekstraktif yang lahir sejak masa pemerintahan Jokowi dan diteruskan oleh Presiden Prabowo. Hilirisasi nikel yang digadang sebagai motor pembangunan justru mempertegas posisi Halmahera Timur sebagai arena benturan modal besar, tempat arus investasi mengalir deras sementara warga setempat menghadapi ketidakpastian nasib dan kerusakan ekologis yang makin meluas.
Potret persoalan itu terlihat dari operasi perusahaan-perusahaan tambang seperti PT Position, PT Wana Kencana Mineral, PT Nusa Karya Arindo, dan PT Weda Bay Nickel. Mereka bekerja berdekatan dalam konsesi tumpang tindih, memunculkan jejak kerusakan mulai dari pencemaran sungai, hancurnya hutan adat, hingga perampasan tanah leluhur suku O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam). Komunitas adat itu kini terdesak di tengah tekanan yang terus meningkat.
HATAM menegaskan agar PT BAM dan jaringan subkontraktornya—PT PJS, PT UTS, PT SCB, PT MSUI, dan PT SMT—tidak sekadar mengandalkan dokumen AMDAL sebagai formalitas. Pengelolaan dampak harus diwujudkan melalui pemenuhan kewajiban terhadap masyarakat, termasuk memastikan harmonisasi lingkungan serta perlindungan ruang hidup warga lokal.
“Kami memberi warning tegas. Setiap proses pembangunan industri di Subaim akan kami pantau secara spesifik. Tidak boleh ada kompromi atas hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan,” demikian pernyataan HATAM dalam rilisnya.
NIA AIRA
KALI DIBACA