
Berdasarkan data penyaluran Dana Desa, Soligi tercatat masuk dalam kategori Desa Berkembang/Tertinggal. Dana tersebut disalurkan melalui dua tahap, yakni Tahap I sebesar Rp 537.029.600 atau sekitar 45,81 persen, dan Tahap II sebesar Rp 635.143.600 atau sekitar 54,19 persen. Sementara Tahap III tercatat Rp 0 atau belum tersalurkan.
Dana Desa itu dialokasikan ke berbagai sektor strategis, mulai dari operasional pemerintahan desa, penanganan keadaan mendesak, pembangunan energi alternatif, kesehatan, pendidikan, hingga ketahanan pangan tingkat desa. Namun, khusus pada sektor ketahanan pangan, warga menilai terdapat ketimpangan serius antara besarnya anggaran yang dikucurkan dan hasil nyata yang dapat dirasakan masyarakat.
Sejak tahun 2023, 2024, hingga 2025, anggaran ketahanan pangan Desa Soligi disebut mencapai ratusan juta rupiah setiap tahunnya. Ironisnya, masyarakat mengaku tidak pernah melihat adanya program konkret seperti kebun pangan desa, lumbung pangan, peternakan desa, perikanan rakyat, atau bentuk kegiatan produktif lain yang seharusnya menopang kemandirian pangan warga.
“Kalau memang anggaran ketahanan pangan itu ada setiap tahun, lalu kegiatannya di mana? Kami tidak melihat apa pun. Tidak ada kebun, tidak ada ternak, tidak ada lumbung pangan. Tidak ada yang bisa ditunjukkan,” ungkap salah satu warga Soligi dengan nada kecewa.
Padahal, dalam dokumen penyaluran Dana Desa, program ketahanan pangan disejajarkan dengan program-program strategis lain seperti Posyandu, Pos Kesehatan Desa/Polindes, PAUD dan pendidikan nonformal, serta penguatan kelembagaan desa. Kondisi ini memunculkan dugaan kuat bahwa program ketahanan pangan hanya berjalan secara administratif di atas kertas, tanpa realisasi fisik yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Situasi tersebut mendorong masyarakat untuk secara terbuka mendesak Inspektorat Daerah dan Kejaksaan agar segera turun tangan melakukan audit serta pemeriksaan menyeluruh terhadap pengelolaan Dana Desa Soligi, khususnya pada sektor ketahanan pangan selama tiga tahun terakhir.
Desakan warga ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, ditegaskan bahwa setiap perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
“Kami tidak menuduh siapa pun. Kami hanya meminta aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara profesional. Kalau anggaran ratusan juta itu benar ada, tentu harus bisa dibuktikan secara terbuka. Jika tidak, Inspektorat wajib audit dan Kejaksaan wajib bertindak,” tegas warga lainnya.
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Soligi, Madaisi La Siriali, S.Sos., belum memberikan keterangan resmi meskipun upaya konfirmasi telah dilakukan. Sikap diam pihak pemerintah desa tersebut semakin memperkuat tuntutan warga akan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Dana Desa.
Masyarakat Soligi kini menunggu langkah konkret dari Inspektorat Daerah dan Kejaksaan guna memastikan Dana Desa—khususnya sektor ketahanan pangan—dikelola secara transparan, akuntabel, dan sesuai ketentuan hukum, serta benar-benar berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan warga desa.
Redaksi: Wances
KALI DIBACA