Halmahera Selatan WARTAGLOBAL.id -Kecamatan Bacan Timur Tengah – Bibinoi tidak sedang baik-baik saja. Desa kecil di Kecamatan Bacan Timur Tengah ini tengah menahan perih yang tak tercatat di peta anggaran. Tapi lukanya nyata. Tergurat di wajah-wajah warga, tercetak dalam suara-suara lirih yang mulai berubah menjadi teriakan: memohon keadilan, menuntut transparansi.
Selasa, 6 Mei 2025, puluhan warga berkumpul di halaman kantor desa. Bukan untuk menyambut tamu kehormatan, bukan pula dalam rangka hari besar. Mereka datang membawa spanduk buatan sendiri, huruf kapital penuh makna:
“KAMI BUTUH TRANSPARANSI”
“DANA DESA BUKAN MILIK PRIBADI”
Kemarahan itu bukan dadakan. Ia lahir dari penantian panjang tanpa kepastian. Sejak tahun anggaran 2023 hingga memasuki kuartal kedua 2025, warga mengaku tak pernah mendapatkan informasi jelas mengenai penggunaan Dana Desa. Tak ada papan informasi. Tak ada laporan pertanggungjawaban. Yang ada hanyalah bisik-bisik, kabar burung, dan dinding keheningan dari pemerintah desa.
“Tidak ada rapat, tidak ada penjelasan, tiba-tiba proyek muncul. Tapi kita tidak tahu itu proyek apa, anggarannya berapa. Semua tertutup,”Ujar Korlap.
Dan ia bukan satu-satunya yang merasa asing di tanahnya sendiri. Beberapa warga yang pernah menjabat sebagai kepala urusan (kaur) desa, bahkan mengaku hanya dijadikan formalitas. Mereka diberi tanggung jawab sebagai Ketua Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), namun tak pernah dilibatkan secara nyata.
Gazali Kasuba dalam penyampainnya ke awak media, nama saya dicantumkan dalam Tim Pelaksana Kegiatan, namun anehnya tidak ada pemberitahuan dan bahkan tidak pernah dilibatkan. Ujarnya
Masyarakat yang mengikuti demostrasi juga menyampaikan keluh kesahnya terhadap pemerintah desa.
“Kami hanya minta keterbukaan. Kalau pemerintah desa yakin tidak bersalah, kenapa takut membuka data atau laporan pertanggungjawaban? Dana Desa itu bukan milik pribadi,” tegas Zainudin Kasuba.
Dana Desa yang dialokasikan pemerintah pusat sejatinya bertujuan mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan di akar rumput. Namun di Bibinoi, harapan itu berbalik arah. Dana yang seharusnya menjadi suluh kemajuan justru menjadi sumber luka.
Menurut dokumen resmi Kementerian Keuangan, Desa Bibinoi menerima Dana Desa sebesar Rp1,5 miliar pada tahun 2023 dan Rp1,3 miliar pada tahun 2024. Namun warga tak tahu pasti ke mana aliran uang itu mengarah. Pembangunan fisik tak terlihat signifikan, program pemberdayaan pun nyaris nihil. Yang mereka tahu hanyalah pembangunan pagar di depan Gereja Jou Ai Dora sepanjang 150 meter, dan di depan Puskesmas sepanjang 100 meter. Bantuan sosial pun, menurut warga, disalurkan tanpa mekanisme yang transparan.
Yang lebih menyakitkan, muncul kesan bahwa pengelolaan desa dilakukan secara tertutup dan eksklusif. Segelintir orang dekat kepala desa dinilai lebih diutamakan dalam program-program desa, sementara suara kritis warga dianggap angin lalu.
Pemimpin yang Menghilang, Aspirasi yang Terbengkalai
Warga Bibinoi pernah menaruh harapan besar pada kepala desa saat ini. Mereka percaya akan datang angin perubahan—bahwa pemerintah desa akan lebih terbuka, lebih mendengar, dan lebih bersih. Tapi harapan itu berubah menjadi kekecewaan mendalam.
“Bahkan rapat BPD pun entah kapan terakhir dilakukan. Kami seperti ditinggal hidup-hidup, BPD Seakan kehilangan fungsinya” keluh Asmawan, pemuda setempat.
Rasa kecewa kian menumpuk karena ketiadaan kanal resmi untuk menyampaikan kritik. Tak ada ruang partisipasi. Tak ada laporan keuangan yang diumumkan. Agenda desa tak dibuka, dan aspirasi warga dianggap gangguan, bukan bagian dari demokrasi.
“Seharusnya kepala desa itu pelayan, bukan penguasa. Tapi sekarang justru seperti ada tembok antara rakyat dan pemerintahnya sendiri, Ujar Esterlina.
Dalam situasi ini, nama mendiang H. Abbas Ms Daud, mantan kepala desa, kembali menggema. Ia dikenang sebagai sosok bersahaja, yang memimpin dengan ketulusan. Meski menjabat di masa anggaran terbatas, warga menyebutnya sebagai pemimpin yang terbuka dan adil.
“Meskipun anggaran minim, almarhum bisa memimpin desa dengan baik. Ada semangat gotong royong. Tidak ada sekat. Kalau kita tanya anggaran, beliau buka catatan. Kalau ada masalah, beliau ajak rapat terbuka. Dia memang tak punya banyak, tapi dia jujur,” ujar seorang warga tua sambil menatap kosong.
Kini, nama H. Abbas menjadi simbol harapan yang hilang. Sosoknya hidup kembali dalam ingatan warga sebagai bukti bahwa jabatan bukan untuk dimuliakan, tapi untuk melayani.
Air Mata Bibinoi: Tanda Lemah atau Tanda Bangkit
Bibinoi hari ini memang merintih. Tapi air mata yang jatuh bukan pertanda kelemahan. Itu adalah bentuk paling jujur dari perlawanan terhadap ketidakadilan. Warga tak menuntut jabatan. Mereka hanya ingin tahu. Ingin dilibatkan. Ingin diperlakukan sebagai pemilik sah desa ini.
Di tengah tangis dan kecewa, satu suara terus menggema:
“To nyawa to nyawa, to ngone to ngone.”
Milik orang jangan diambil. Milik kita, rawatlah bersama.
Dan mungkin, dari suara kecil itu, perubahan bisa kembali dimulai.
Redaksi/*YUSRI
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment