
Mahasiswa Magister Ilmu Kelautan
Universitas Khairun Ternate
Ternate, WARTAGLOBAL. id - Nama saya Fitriyani Ashar. Saya berasal dari Pulau Morotai, Saya menempuh pendidikan sarjana di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan kini melanjutkan Magister di Universitas Khairun Ternate. Saya adalah anak dari seorang nelayan sederhana bernama bapak Sair Pina. Sejak kecil, saya tumbuh di lingkungan pesisir di mana tangkapan ikan menjadi satu-satunya sumber harapan keluarga kami untuk bertahan hidup. Dari penghasilan yang sangat terbatas itu, bapak saya berhasil menyekolahkan empat anak hingga sarjana, dan saya sendiri hingga ke jenjang magister.
Di tengah keterbatasan ekonomi dan geografis, tak sedikit anak bangsa membuktikan bahwa pendidikan bukanlah hak eksklusif kaum berada. Salah satunya adalah anak nelayan dari Desa Sangowo Pulau Morotai, pulau kecil di Maluku Utara, yang berhasil menembus jenjang magister. Kisah ini bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan cerminan bahwa ketimpangan akses pendidikan dapat dilampaui oleh kegigihan, dukungan sosial, dan kebijakan pendidikan yang berpihak.
Saya tidak berasal dari keluarga yang kaya, tidak pula punya jalur istimewa menuju pendidikan tinggi. Tapi saya percaya bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi. Bahkan saya sering menghadapi stigma “Anak nelayan bisa apa?” Seolah-olah latar belakang saya jadi penghalang legitimasi akademik saya.
Dengan pengorbanan luar biasa. Tidak ada gaji bulanan, tidak ada jaminan sosial, hanya ada harapan dari laut yang semakin hari semakin tak menentu. Seringkali, bapak pulang tanpa hasil. Tapi beliau tak pernah menyerah dan tidak pernah sekalipun berkata bahwa pendidikan itu terlalu mahal untuk kami.
Namun, keberhasilan ini tidak seharusnya dipuja-puja sebagai kisah “inspiratif” belaka. Justru inilah potret kegagalan sistemik kita. Mengapa akses pendidikan tinggi masih begitu sulit bagi masyarakat kecil, Mengapa anak-anak dari daerah pesisir dan pulau terpencil harus berjuang mati-matian untuk sekadar mendapatkan hak Pendidikan yang setara.
Pendidikan tidak boleh lagi menjadi hak istimewa yang hanya bisa diraih oleh mereka yang mampu secara ekonomi dan tinggal di kota besar. Saya berharap, suatu hari nanti, pendidikan benar-benar hadir sebagai alat pembebasan. Bukan hanya untuk saya, tapi untuk setiap anak pesisir, anak petani, anak buruh, yang hari ini masih terus ditinggalkan.
Dan di Sini. Saya Ingin Menyampaikan Apresiasi Yang Paling Tulus Kepada Bapak Saya, Bapak Sair Pina:
Seorang nelayan dari Desa Sangowo Kabupaten Pulau Morotai yang tanpa banyak kata, dengan tangan yang kasar karena memegang tali perahu, dengan tubuh yang lelah setelah pulang dari laut, telah menjadi pahlawan sejati dalam hidup kami. Dari hasil laut yang tak menentu, beliau menyekolahkan empat anaknya hingga sarjana, dan saya hingga magister. itu bukan sekadar pencapaian keluarga, itu adalah bukti bahwa cinta dan pengorbanan bisa menembus batas sistem yang tidak adil.
Bapak saya tidak pernah berbicara tentang keadilan sosial, tapi seluruh hidupnya adalah bentuk perlawanan terhadap ketimpangan. Beliau tidak membaca teori pembangunan, tapi ia membangun masa depan anak-anaknya dengan tenaganya sendiri. Bagi saya, beliau adalah wajah dari keberanian, keteguhan, dan harapan.
Semoga suatu hari, perjuangan seperti bapak saya tidak lagi menjadi syarat untuk anak-anak nelayan bisa bersekolah. Karena pendidikan adalah hak, bukan perjuangan yang harus dibayar dengan seluruh hidup seorang bapak.
Reporter: Asrul Madra
KALI DIBACA