
Halteng, WartaGlobal.Id – Tradisi Coka Iba bukan sekadar ritual kebudayaan. Ia adalah simbol integrasi politik, religius, dan kultural yang diwariskan Sultan Jamaluddin kepada tiga negeri Gamrange—Weda, Patani, dan Maba—pada masa awal penyebaran Islam.
Awalnya, Sultan Jamaluddin yang belum memiliki wilayah kekuasaan turun langsung membawa ilustrasi permainan Coka Iba sebagai hadiah bagi tiga negeri tersebut. Dari sinilah lahir perbedaan karakter Coka Iba: versi Weda dikenal lebih keras, Patani lebih lembut, dan Maba Wasile menggabungkan keduanya. Bahkan dikenal juga Coka Iba Yai, Coka Iba Gururu, hingga Coka Iba Nog, dengan simbolisme topeng dan pasangan-pasangan yang melambangkan jin serta iblis.
Makna filosofisnya menegaskan bahwa pada kelahiran Nabi Muhammad SAW, seluruh makhluk di bumi ikut bergembira—termasuk jin sekalipun. Maka masyarakat Gamrange mengilustrasikan kegembiraan itu lewat perayaan Maulid dengan menghadirkan topeng-topeng menyeramkan, rotan, serta lantunan Barzanji dan doa-doa sepanjang malam.
Catatan sejarah juga menunjukkan, tradisi ini pernah dipentaskan di Tidore pada momen penting pembentukan provinsi, meski secara konsisten tetap dijaga oleh masyarakat Weda, Patani, dan Maba. Dalam bahasa lokal, satu malam perayaan Maulid bahkan dikenal dengan istilah Fanten, saat Coka Iba tampil sebagai puncak sukacita.

Lebih dari sekadar ritual, Coka Iba adalah instrumen politik budaya. Melalui pemberian budaya ini, Sultan Jamaluddin mengajak tiga negeri Gamrange berintegrasi dengan Kesultanan Tidore. Penting dicatat, Gamrange bukan wilayah jajahan, melainkan entitas yang memilih bergabung. Sebagai pengikat, Sultan mengangkat Sangaji Weda, Sangaji Patani, dan Sangaji Maba—jabatan setingkat pembantu Sultan, yang dalam konteks kini dapat dianalogikan sebagai gubernur.
Langkah itu menjadi bukti strategi cerdas Kesultanan Tidore dalam memperluas pengaruhnya. Alih-alih menaklukkan, Sultan Jamaluddin membangun hegemoni lewat pemberian jabatan dan pengakuan martabat. Pola ini pula yang kemudian diterapkan di wilayah lain, termasuk Papua dan kepulauan sekitarnya.
Tradisi Coka Iba hari ini terus dipertahankan, meski menghadapi tantangan modernisasi dan reduksi makna oleh generasi baru. Namun bagi masyarakat Gamrange, ia tetap menjadi warisan sakral yang menegaskan identitas Islam, solidaritas sosial, sekaligus jejak sejarah penyatuan nusantara lewat diplomasi budaya Kesultanan Tidore.
Seorang tokoh adat Patani menegaskan, “Coka Iba adalah bukti bahwa kami bukan ditaklukkan, tapi memilih bergabung. Kalau tradisi ini hilang, generasi muda akan kehilangan sejarah yang membuat mereka paham siapa dirinya.”
Nia Aira
KALI DIBACA