
Halmahera Barat, WartaGlobal.Id - Ratusan massa aksi yang menamakan diri Forum Masyarakat Peduli Talaga Rano memadati halaman Kantor Bupati Halmahera Barat pada Senin, 17 November 2025. Ketegangan pecah ketika kelompok demonstran mencoba membakar ban sebagai bentuk protes, namun upaya itu langsung dihalau oleh aparat Satpol-PP hingga nyaris memicu bentrokan.
Aksi yang berlangsung sejak pukul 09.30 WIB ini diikuti masyarakat adat dan mahasiswa. Mereka datang sambil membawa spanduk bertuliskan “#selamatkan talaga rano”, menandai penolakan tegas terhadap rencana operasi proyek panas bumi di kawasan tersebut. Setibanya di kantor bupati, massa menuntut bertemu Bupati James Uang, Wakil Bupati Djufri Muhamad, serta Sekda Julius Marau. Namun ketiganya tidak berada di tempat: bupati dan wakil bupati disebut sedang berada di luar daerah, sementara Sekda tak diketahui keberadaannya.
Ketiadaan pimpinan daerah makin memicu kekecewaan para demonstran. Ketika massa mencoba membakar ban sebagai simbol perlawanan, Satpol-PP langsung menghalangi. Dorong-mendorong tak terhindarkan, meski akhirnya situasi berhasil diredam sebelum berubah menjadi bentrokan terbuka.
Dalam tuntutannya, massa meminta pemerintah daerah menghentikan seluruh proses menuju pelaksanaan proyek panas bumi di Talaga Rano. Mereka mendesak agar kawasan itu ditetapkan sebagai wilayah konservasi sekaligus objek wisata berbasis hutan raya untuk memastikan ruang hidup masyarakat adat tetap terjaga.
Bagi masyarakat setempat, Talaga Rano bukan hanya danau yang dikelilingi tebing belerang, melainkan pusat sejarah dan budaya yang memiliki akar panjang sejak abad ke-16. Dikenal dengan nama Talagarano—Air Obat dalam bahasa Sahu—wilayah ini menjadi simbol hubungan manusia dengan alam. Sejarah mencatat pada 1912, sebagian masyarakat bermigrasi ke wilayah baru bernama Gamsungi, yang kemudian berkembang menjadi desa agraris dengan adat istiadat Sahu yang kuat.
Di Gamsungi, tradisi dijaga melalui keberadaan rumah adat Sasadu sebagai lambang kebersamaan. Nilai luhur yang diwariskan leluhur tetap dipertahankan hingga kini: hidup selaras dengan alam dan menghormati jejak sejarah yang membentuk identitas masyarakat.
“Talaga Rano adalah ruang hidup kami, bukan komoditas,” ujar salah satu perwakilan massa.
Dino/*
KALI DIBACA