
Hal-Sel, WARTAGLOBAL.id – Keputusan Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba, dalam melantik empat kepala desa definitif di wilayahnya menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan hukum dan masyarakat. Pasalnya, pelantikan tersebut dinilai melabrak ketentuan perundang-undangan serta asas kepastian hukum yang menjadi fondasi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kamis, 09/10/2025.
Empat kepala desa yang baru dilantik melalui Surat Keputusan (SK) Bupati terbaru tersebut adalah Umar La Suma sebagai Kepala Desa Gandasuli (Kecamatan Bacan Selatan), Amrul Ms. Manila sebagai Kepala Desa Goro-Goro (Kecamatan Bacan Timur), Arti Loyang sebagai Kepala Desa Loleongusu (Kecamatan Mandioli Utara), dan Melkias Katiandago sebagai Kepala Desa Kuo (Kecamatan Gane Timur Selatan).
Padahal, keempat nama tersebut sebelumnya telah menjabat berdasarkan hasil Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tahun 2022 yang kemudian dibatalkan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang berarti keputusan itu wajib dilaksanakan dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Namun, secara mengejutkan, Bupati Hal-Sel kembali menerbitkan SK baru yang mengangkat kembali keempat orang tersebut untuk menduduki jabatan yang sama. Langkah ini memunculkan tanda tanya besar mengenai dasar hukum dan pertimbangan yuridis yang digunakan.
“Keputusan Bupati tersebut patut dipertanyakan dari aspek yuridis, baik dalam konteks penggunaan wewenang, prosedur, maupun substansi hukum. Karena fakta menunjukkan, SK sebelumnya telah dinyatakan cacat hukum dan dibatalkan oleh PTUN Ambon,” ujar Safri Nyong sebagai salah satu pemerhati hukum di Labuha.
Menurutnya Safri Nyong, seluruh peristiwa hukum yang mendasari proses Pilkades 2022 telah dinilai cacat prosedural dan substantif oleh pengadilan. Maka, segala konsekuensinya, termasuk pelantikan hasil Pilkades tersebut, tidak dapat diberlakukan kembali.
Ia menegaskan, dalam konteks hukum tata usaha negara, hanya amar putusan pengadilan yang telah inkracht yang memiliki kekuatan eksekutorial. Artinya, keputusan yang telah dibatalkan tidak bisa dijadikan dasar untuk menerbitkan SK baru dengan substansi yang sama.
“Jika Bupati tetap mengangkat orang-orang yang sudah dibatalkan jabatannya melalui putusan pengadilan, maka timbul pertanyaan hukum yang serius: peristiwa hukum mana yang kini dijadikan dasar legitimasi untuk pelantikan itu?” tegasnya.
Dalam hukum administrasi pemerintahan, setiap kebijakan yang diambil pejabat publik harus bersandar pada prinsip ratio decidendi atau dasar pertimbangan hukum dari putusan pengadilan yang relevan. Apabila ratio decidendi dalam perkara Pilkades menyebutkan bahwa proses dan hasil pemilihan cacat hukum, maka seluruh akibat hukumnya pun gugur secara otomatis.
Dengan demikian, langkah logis dan objektif yang seharusnya ditempuh Bupati Halsel ialah mempertahankan jabatan Penjabat (Pj) Kepala Desa pada empat desa tersebut hingga dilaksanakannya Pilkades ulang secara sah.“Tindakan ini penting agar Bupati terhindar dari dugaan penyalahgunaan wewenang dan persepsi keberpihakan terhadap individu tertentu,” lanjut sumber tersebut.
Dalam polemik ini, muncul pula perdebatan mengenai kemungkinan penggunaan hak diskresi oleh Bupati Hal-Sel. Diskresi merupakan kewenangan pejabat tata usaha negara untuk mengambil keputusan dalam kondisi tertentu ketika terdapat kekosongan hukum, ketidakjelasan peraturan, atau stagnasi pemerintahan demi kepentingan umum yang lebih luas.
Namun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, penggunaan diskresi hanya sah apabila memenuhi beberapa syarat: (1) diberikan ruang oleh peraturan perundang-undangan, (2) belum ada pengaturan khusus, (3) peraturan tidak lengkap atau tidak jelas, atau (4) terdapat stagnasi pemerintahan.
Jika dikaitkan dengan kasus pelantikan empat kepala desa ini, tidak terdapat satu pun kondisi tersebut yang terpenuhi. Peraturan yang mengatur pelaksanaan Pilkades dan pelantikan kepala desa sudah jelas, begitu pula dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Artinya, tidak ada kekosongan hukum atau stagnasi pemerintahan yang dapat dijadikan alasan pembenar untuk menggunakan diskresi. Maka, penerbitan SK baru tersebut jelas menyimpang dari ketentuan Undang-Undang dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), khususnya asas kepastian hukum,” jelasnya.
Langkah Bupati Hal-Sel ini pun dinilai berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan desa di masa mendatang. Sebab, bila pejabat eksekutif dapat dengan mudah mengabaikan putusan pengadilan, maka wibawa hukum dan keadilan administrasi pemerintahan menjadi tergerus.
Kini, masyarakat menunggu langkah selanjutnya dari lembaga pengawas dan aparat penegak hukum untuk menelaah secara cermat kebijakan kontroversial tersebut. Sebab, dalam negara hukum, tidak ada seorang pun pejabat yang berada di atas hukum, termasuk kepala daerah.
Keputusan yang semestinya mengandung nilai kepastian hukum dan keadilan, kini justru menimbulkan tanda tanya besar dan potensi konflik baru di empat desa tersebut. Jika tidak segera dikoreksi, polemik ini dikhawatirkan menjadi cerminan lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam menegakkan supremasi hukum di Halmahera Selatan.
Redaksi: wan
KALI DIBACA